Rabu, 16 Februari 2011

LEADERSHIP AND TEAMWORK IN HEALTH SERVICES

Tidak ada manusia yang super perkasa, seolah-olah bisa bekerja sendiri dalam pekerjaan yang kompleks. Permasalahan di pelayanan kesehatan padat kepentingan, rawan akan konflik !!!!!
Penataan cara bekerja di pelayanan kesehatan perlu professional character building dokter.
• Individu harus menyadari bahwa setiap fungsi dan kepentingannya mempunyai efek pada fungsi dan kepentingan individu lain dalam organisasi, demikian sebaliknya
• Setiap individu menghadapi berbagai macam tugas dan kewajiban, sehingga harus tahu prioritas penyelesaian pekerjaan
• Kepentingan organisasi harus didahulukan daripada kepentingan individual dalam tingkat manapun

Ciri karakter profesional DOKTER dalam menjalankan pelayanan
1. Mengutamakan pelayanan ke pasien dan peserta didik
2. Pembelajaran diri sendiri dan kepada kolega
3. Inovasi melalui riset dan telaah pengembangan institusi
4. Sikap kerja yang bernuansa disiplin dalam kehadiran serta kepatuhan akan etika, prosedur yang sudah disepakati dan prinsip kemitraan

Perhatian pada QUALITY of CARE lebih meroket setelah adanya publikasi dari IOM:
“To Eorr is Human” (th 1999)
“Crossing the Quality Chasm” (th 2001)
Dorongan ke pelayanan kesehatan prima untuk implementasi program Quality & Safety

TRANSFORMATIONAL CHANGING
 Perubahan secara kualitatif dalam suatu sistem organisasi untuk menuju PELAYANAN PRIMA
 Reframing nilai-nilai, keyakinan dan sikap yang ada pada organisasi
 Redefinisi dari lingkup aspek psikososial yang saling berkaitan
 Pengembangan individu, performa dan budaya organisasi  peningkatan daya saing
Untuk menciptakan perubahan budaya ini diperlukan “Transformational Leadership”, bukan “Managership”
WHY ?
Keberhasilan Transformasi :
• Peran Leadership 70 % - 90 %
• Peran Managership 10 % - 30 %
( Kotter, 1998 )

“ Act as a Leader, not a Manager, Stop Managing, Start Leading !”
( Robert Flater : “Jack Welch and GE Way” )

Leadership :
- Critical decision making
- Strategic decision
- Option widening
- Opportunistic surveillance
- Goal setting and changing
- Prospective
- Proactive
- Elevate employee
- Shape the organization’s culture
(Emergent; Personal; Moral; Consensual, catalystic; Empower people)

Managership
- Routine decision making
- Technical decision
- Uncertainty reduction
- Problematic search
- Goal achieving
- Retrospective
- Reactive
- Exchange with Employee
- Work within the organization’s culture
(Designated; Structural; Rules and regulations; Hierarchie; Control and influence people)

TRANSFORMATIONAL LEADERS
“Kepemimpinan tranformasi” bersifat karismatik, inspiratif, stimulatif dan berani mengambil resiko dengan penuh pertimbangan. Mereka memberikan kepada ‘anak buah’ rasa ikut berperan; melukiskan gambaran tentang keberhasilan; menyampaikan tujuan bersama, saling pengertian, dan masa depan yang menarik.
Seseorang dikatakan sebagai pemimpin tranformasi: (Walshe, 2000)
o Memiliki visi dan tujuan kedepan yang jelas
o Mempunyai kemampuan sbg dinamisator organisasi dan menunjukkan semangat yang tinggi dalam melaksanakan tugas organisasi secara benar dan bertanggungjawab
o Menciptakan iklim saling percaya, saling menghargai dan membantu kolega lain untuk senantiasa meningkatkan kapasitas pribadi
Misi : - Identitas jatidiri lembaga
- Raison d’etre (Reason for being)
- Milik Organisasi
Visi : - Cita-cita yang ingin diraih
- Gambaran Organisasi di masa datang
- Milik pimpinan yang menjadi pedoman bersama (konsep dan konsistensi)
Objektif : - Tujuan Strategik
- Tujuan Finansial
Langkah-langkah Pemimpin Senior dalam Organisasi Modern: (Gaspersz, 2007)
1. Melaksanakan Misi dan Nilai organisasi dalam pencapaian Visi dan Tujuan Strategik
2. Bersama Tim Manajemen merumuskan “Master Improvement Story ”, menyebar-luaskan informasi proporsional ke seluruh bagian organisasi dan berperan dalam implementasinya
3. Mempersiapkan kader-kader pemimpin organisasi masa depan dengan menumbuhkan budaya organisasi yg kondusif

DEVELOPING A CULTURE  WHAT SHOULD LEADER DO  THE BENEFIT OF TEAMWORK

Developing a culture of customer service:
• An organization’s culture is the shared philosophies, ideologies, values, beliefs, attitudes, and norms that knit the organization’s member together
• Culture guides the way employees of the organization act and think as they go about doing their jobs
(Encyclopaedia of Quality Management in Hospital & Health-care Administration. 1st Ed, 2006)

Healthcare leaders should:
• Have a strong commitment to excellent service and communicate it through words and deeds – clearly and consistently to those inside and outside the organization
• Creating and sustaining the organizational culture and convincing their employees to believe in that culture as well
• Motivate people develop their talents, provide them with proper resources, and reward them when they succeed

To walk the talk
• The most important influence on any organizational culture is the behavior of the leaders
• The top healthcare executives have been modelling behavior that does give a high priority to the major concerns of that customers : patient care, informations, pain management, positive attitudes of physicians and nurses, etc

Teamwork :
• Healthcare employee knows that they are essential parts of organizations that profoundly influence people’s live. They will work hard on behalf of that team’s goal because they are so committed to the purpose of the organization
• They should know that they can not work alone, with competence of others they will get synergism
(Fattler MD, Ford RC, & Heaton CP; 2006)
The benefit of work as a team:
1. Team can generate by discussing and resolving problems affecting the team and the organization
2. Team can assist in the supervising role of management by providing an ongoing monitoring of each team member’s behavior and productivity
3. Team help everybody learn more about the organization and what it does
4. Team makes decisions for itself, owns them, understands them, and becomes responsible for making them work and monitoring their outcomes

Kebutuhan akan Clinical / Medical Leadership
Kennedy & Messinger, 2005 (ECG, US):
o Institute of Medicine (IOM) pointed out that care based on training and individual experience – rather than on evidence - is a leading cause of error
o The key processes that drive high quality care will require consent and cooperative from doctors – the imperative for medical leadership
Cathy Balding, 2005 (VQC, Australia):
o It is needed a set of tasks to lead improvement in the safety & quality of healthcare and the attribute required to successfully carry them out
o Clinician cannot work in isolation, they require in the form of clinical teams. Clinical leader can maximize the effectiveness of those teams

3 undang-undang terkait upaya kesehatan dan standar kompetensi dokter di Indonesia mengisyaratkan perlunya kerjasama intra dan antar profesi (konsep teamwork di Indonesia) dalam pengaturan dan pembinaan serta peningkatan mutu pelayanan klinik
a. UU no. 44, th 2009 tentang Rumah Sakit (Penjelasan Bab Umum)
“Di dalam rumah sakit berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain . Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit”
b. UU no. 36, th 2009 tentang Kesehatan (Bab V, XIII, XVIII)
Bab V, Bagian kesatu: Tenaga Kesehatan
Bab XIII : Pengelolaan Kesehatan
Bab XVIII : Pembinaan dan Pengawasan
“Pemerintah mengatur pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dan penyelenggaraan pengelolaan kesehatan”
c. Undang-undang 29/ th 2004 (tentang Praktik Kedokteran)
Hak & Kewajiban Dokter – Psl 51 b. Merujuk pasien ke dokter lain yg mempunyai keahlian atau kemampuan yg lebih baik.
Hak & Kewajiban Pasien -- Psl 52 b. Meminta pendapat dokter lain

Area kompetensi dokter:
1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan klinis
3. Landasan ilmiah ilmu kedokteran
4. Pengelolaan masalah kesehatan
5. Pengelolaan informasi
6. Mawas diri & pengembangan diri
7. Etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien

Bagaimana konsep interprofessional education ?
• Kerjasama antar profesi , yg penting pada pelayanan klinis yg berkualitas, lebih merupakan suatu “behaviour” yg harus dipupuk sejak saat pendidikan, terutama dalam pendidikan spesialis
• Rumah sakit pendidikan dalam mengemas pelayanan unggulan harus merupakan bentuk layanan terpadu multidisiplin dg pelaksana integrated service line management team dan evaluasi melalui comprehensive advisory council

Siapa yang memimpin pengembangan konsep ?
Chief Medical / Clinical Officer
• Has specific duties related to the management, direction, and evaluation of quality initiatives and clinical affairs, involved with strategic planning and relationships with critical physician groups, and model desired behaviour through their activities
• Be able to empowering and holding accountable staff at all levels (including registrars/residences) to be appropriately involved in monitoring and improving care and services
The key aspects of good clinical performance – ensuring that the right things are done in the right way at the right time for the right person, by the right people with right behaviour  The concept of systematic working & systemic thinking

Systematic working management
• Manajemen operasional organisasi usaha yang populer di negara Skandinavia
• Menjadi alternatif dari gaya manajemen yang berkiblat pada AS yang bernuansa persaingan pasar
• Pemahaman adanya saling ketergantungan antar komponen-komponen dalam suatu organisasi, untuk mengatasi problem yang kompleks yang mempunyai banyak penyebab dan banyak akibat maupun banyak efek samping
Dengan bekerja sistematik dan berpikir sistemik dalam kerangka pembentukan karakter profesional, maka semoga kita akan mampu berlomba dalam kebajikan di pelayanan kesehatan.

MEDICAL EMERGENCY RESPONSE – Rapid Response Team

BENCANA adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis serta memerlukan bantuan luar

Workshop on Disaster Research, WCDEM 2007 “ The problem of disaster response was not lack of any single resources but inadequate management (Coordination and Control) “
“ A humanitarian action must be conducted with a high standard of professionalism in a solidarity and friendship work. “

Damage area  Transportation transfer  Hospitalisation area
Disaster Plan
a. Pre Hospital Disaster Plan
M = major incident
E = exact location
T = type of injury
H = hazard,
A = Access
N = number of cas
E = emergency services, present and required

b. Hospital Disaster Plan
C ommand
S afety
C ommunication
A ssessment
T riage
T reatment
T ransport

c. Regional Disaster Plan
Coordinating Team
Medical team
Surveillance
Management back up
Logistik

Partisipasi masyarakat pd penanggulangan bencana :
• Tingkat pengendali; Tingkat pimpinan satuan kerja; Tingkat pelaksana
• Fase tanggap darurat; Fase Pemulihan; Fase Kesiagaan
• Military Government; Non Government Organization (NGO); Private Sector; Academia
• Profesional; Petugas; Relawan

The 5 Specific Aspects of Disaster Management that Involves Ethical Issues:
1. The use of military intervention in disaster relief
2. Assistance for displaced population
3. The relationship of disaster response to participatory development
4. Disaster finding
5. And disaster declaration and response

List the ethical values and important interest at stake
• Beneficence
• Non-maleficence
• Patient self determination
• Patient well being
• Self-improvement
• Fidelity
• Fairness

Selasa, 15 Februari 2011

UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA

Kesiapsiagaan :
KEADAAN SIAP SETIAP SAAT BAGI SETIAP ORANG, PETUGAS SERTA INSTITUSI PELAYANAN (TERMASUK PELAYANAN KESEHATAN) UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN DAN CARA-CARA MENGHADAPI BENCANA BAIK SEBELUM, SEDANG DAN SESUDAH BENCANA.

Penanggulangan :
MERUPAKAN UPAYA UNTUK MENANGGULANGI BENCANA, BAIK YANG DITIMBULKAN OLEH ALAM MAUPUN ULAH MANUSIA, TERMASUK DAMPAK KERUSUHAN YANG MELIPUTI KEGIATAN PENCEGAHAN, PENYELAMATAN, REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
• MENGURANGI JUMLAH KESAKITAN, RESIKO KECACATAN DAN KEMATIAN PADA SAAT TERJADI BENCANA.
• MENCEGAH/ MENGURANGI RESIKO MUNCULNYA PENYAKIT MENULAR DAN PENYEBARANNYA
• MENCEGAH/ MENGURANGI RESIKO DAN MENGATASI DAMPAK KESEHATAN LINGKUNGAN AKIBAT BENCANA.

SASARAN UTAMA :
 KORBAN BENCANA
 MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA
SASARAN ANTARA :
 SARANA & PRASARANA KESEHATAN
 PETUGAS KESEHATAN YANG MENGELOLA DAN PELAKSANA PENANGGULANGAN
 SUMBER PENYEBAB WABAH / KLB

PRINSIP DASAR UPAYA PENANGGULANGAN DITITIK BERATKAN PADA TAHAP KESIAPSIAGAAN SEBELUM BENCANA TERJADI


TAHAP SEBELUM TERJADI BENCANA (PRA BENCANA)
• KELEMBAGAAN / KOORDINASI YANG SOLID
• SUMBER DAYA MANUSIA / PETUGAS KESEHATAN YANG TRAMPIL, MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG BENCANA DAN MEMILIKI HUBUNGAN ANTAR MANUSIA YANG BAIK
• KETERSEDIAAN LOGISTIK (BAHAN, ALAT, OBAT)
• STANDAR OPERASIONAL / PEDOMAN
• KETERSEDIAAN INFORMASI TENTANG BENCANA (DAERAH RAWAN, POP.BERESIKO, POTENSI KEMAMPUAN RESPON, DLL)
• JARINGAN KERJA LINTAS PROGRAM / SEKTOR

TAHAP TERJADINYA BENCANA
• PELAYANAN GAWAT DARURAT MEDIK MASSAL
• ‘RAPID HEALTH ASSESSMENT’ YANG HASILNYA BERUPA REKOMENDASI UNTUK MENENTUKAN LANGKAH SELANJUTNYA
• BANTUAN AWAL KESEHATAN LINGKUNGAN & SURVEIILANS

TAHAP PASCA BENCANA
PADA TAHAP INI PERLU MEPERHATIKAN POTENSI RESIKO MUNCULNYA KLB PENYAKIT MENULAR. UPAYA KESEHATAN MELIPUTI :
1. KESEHATAN LINGKUNGAN (AIR BERSIH, JAMBAN, SAMPAH, SANITASI MAKANAN, DLL.)
2. SURVEILANS PENYAKIT
3. PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
4. PELAYANAN KESEHATAN DASAR, DLL.
INTERVENSI KESEHATAN DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
 Penyelamatan (fokus pada korban):
 Mobilisasi resources (dramatis; waktu singkat)
 Evakuasi ke RS, Pusk & Pos Kesehatan (mencegah kematian; perawatan luka)
 Mencegah KLB (fokus pada pengungsi):
 Penyediaan sanitasi darurat; pemberantasan vektor; imunisasi; pengendalian penyakit potensi KLB; SE.
 Memulihkan pelayanan (fokus pada fungsi Pusk):
 Pelayanan program kesehatan dasar (KIA, Gizi)
 Pelayanan program PP-PL (Imun, TB, Ispa dll)
 Memulihkan kondisi psikologis pasca bencana (traumatic stress)

Senin, 14 Februari 2011

Penanganan Bencana Merapi Pasca Penurunan Radius Bahaya Di Sleman

Media Center Tanggap Darurat Bencana Merapi, Sabtu (21/11) menyelenggarakan konferensi pers yang menghadirkan nara sumber Komandan Tanggap Darurat Bencana Merapi Kabupaten Sleman, Ir. Widi Sutikno, M.Si. Keseharian beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman.
Widi Sutikno menjelaskan bahwa radius berbahaya untuk Kabupaten Sleman, sebelah Barat Kali Boyong 10 km, sedangkan sebelah Timur Boyor 15 km. Kondisi ini berpengaruh terhadap pergerakan pengungsi yang berada di TPS (tempat penampungan sementara) yang tersebar di beberapa titik.

Terkait dengan perubahan radius zona bahaya, Bupati Sleman mengharapkan pengungsi yang berada di wilayah administrasinya dan berada di wilayah aman untuk kembali ke tempat tinggal mereka. ";;Harapan kami kepengen masyarakat di Sleman bisa dikelola sendiri, kami elus-elus sendiri (ungkapan bapak ke anaknya) supaya mereka aman” jelas Widi Sutikno. Pengungsi yang berada di sebagian wilayahTuri dan Pakem sudah bergerak ke barak pengungsi lama. Di Kecamatan Turi, ada dua desa, antara lain Desa Wonokerta dan Desa Girikerto yang sudah digunakan sebagai pusat barak pengungsi di Kecamatan Turi. Pemusatan pengungsi di daerah itu dilatarbelakangi keberadaan beberapa desa di kecamatan ini yang belum dapat dimasuki karena masih dalam radius bahaya.

Selama ini Pemerintah Kabupaten Sleman selalu berkoordinasi dengan Badan Geologi untuk perkembangan Gunung Merapi dan juga rekomendasi terkait pergerakan pengungsi. Memang yang paling parah di wilayah Cangkringan tempat terjangan awan panas dan lahar panas. Dan sebagian besar masyarakat di wilayah ini masih mengungsi.


Dampak letusan telah mematikan perekonomian kabupaten. Oleh karena itu, kami ingin sekali menghidupkan kembali perekonomian lokal di sini. Ada beberapa warung dan kios sudah mulai buka dalam beberapa hari ini. Kami sudah memikirkan untuk mengembangkan perekonomian kabupaten, sebagai contohnya lava tour seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2006. Lava tour dapat dilakukan dengan catatan status Merapi yang sudah aman nantinya. Di samping itu, kita juga menghimbau masyarakat yang memilki usaha mikro dan berada di wilayah zona aman untuk segera dibuka. Bantuan penguatan modal kepada masyarakat/ kelompok mungkin akan didesain bagi mereka. Kami baru kaji sistem dan pola untuk pemulihan ekonomi lokal.

Mengenai shelter, Kabupaten Sleman akan membangun shelter atau huntara minggu depan. Prioritas huntara diutamakan untuk keluarga yang rumahnya tidak dapat dihuni lagi. Sebelum pelaksanaan huntara, Pemerintah Kabupaten Sleman membuat site plan untuk hunian sementara. Pemerintah Kabupaten bekerja sama dengan UGM dalam pembuatan site plan yang nantinya akan dilanjutkan dengan land clearing. Sekali kali, Widi Sutikno menekankan terkait rencana huntara ini, “Shelter yang kita bangun itu adalah shelter yang kita spesialkan bagi masyarakat yang rumahnya tidak bisa dihuni lagi”.

WABAH!!! Seberapa Tanggapkah Pemerintah Kita?

Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
Kejadian wabah berpontensi menimbulkan keadaaan KLB (Kejadian Luar Biasa) berupa peningkatan kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Indonesia, sebagai daerah tropis dengan kejadian penyakit infeksi yang tinggi dan berpotensi menjadi KLB, apa yang telah dilakukan pemerintah kita?
Sebenarnya, Berdasarkan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004 telah dibuat suatu sistem kewaspadaan dini KLB (SKD - KLB) dengan menerapkan surveilans epidemiologi untuk pencegahan dan penanggulangan cepat suatu wabah.
Surveilans epidemiologi berupa kajian secara terus menerus, berkelanjutan, dan sistematis terhadap penyakit berpotensi KLB didasarkan pada:
1. Laporan masyarakat mengenai wabah
2. data epidemiologi KLB
3. surveilans terpadu berbasis KLB
4. sistem peringatan dini di RS dan puskesmas
Dalam pelaksanaannya, selalu dilakukan pemantauan terhadap penyakit - penyakit yang berpotensi KLB sehingga jika terjadi peningkatan yang signifikan akan segera dilakukan peringatan kepada unit terkait dari DinKes kab/kota, DinKes propinsi, hingga DepKes. Selanjutnya akan diturunkan tim khusus untuk melakukan deteksi dini di tempat yang terkena wabah.

Namun, dengan adanya sistem yang telah dibentuk dengan sangat baik ini,..
Mengapa masih sering timbul KLB?
Mengapa penanganan KLB masih lambat?

Lihat saja kasus demam berdarah,
Indonesia merupakan negara dengan banyak daerahnya merupakan daerah endemis demam berdarah, dengan banyaknya kasus demam berdarah, dan tentu saja sangat berpotensi menjadi KLB. Sudah seharusnya penyakit yang tidak pernah absen ini selalu dalam pantauan dan terdata oleh surveilans epidemiologi. Namun, bisa dilihat angka kematian akibat demam berdarah masih tinggi! Bahkan pada tahun 2004, pemerintah sempat menetapkan KLB penyakit demam berdarah di SELURUH INDONESIA. Pada tahun itu, kejadian demam berdarah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 1 - 3% dari total kasus.
Apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah kita selama ini?

Sesuai dengan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004, sebenarnya telah dibentuk SKD - KLB yang harus selalu siap sedia dalam penanganan penyakit apapun yang berpotensi menjadi KLB. Namun, dalam pelaksanannya butuh ketekunan dalam administrasi dan pendataan semua penyakit yang terjadi dan ditangani di puskesmas hingga rumah sakit. Disini lah kemudian timbul permasalahan,..

"Sistem di negara kita belum mampu menyajikan data yang akurat dan update"

Mengapa saya bisa berkata demikian?
Jika tidak percaya, cobalah anda mencari data - data epidemiologi lengkap penyakit - penyakit di Indonesia. Bisa ditebak pasti anda akan kesulitan karena minimnya data - data yang ada, apalagi data terbaru. Data yang terkumpul hanya menjadi data mentah yang kemudian tidak diolah sehingga tidak bisa memberi informasi apapun. Otomatis surveilans epidemiologi pun akan sulit terlaksana dengan keadaan yang seperti ini. Belum lagi ditambah dengan minimnya kesadaran tenaga kesehatan dalam pencegahan dan deteksi dini suatu penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB. Mereka tidak merasa itu penting jika belum terjadi wabah. Sama seperti orang sakit yang baru menyadari bahwa kesehatan itu penting dan nikmat.
Jika kelakuan ini tidak dirubah, semua sistem yang telah dibuat tidak akan bisa berjalan dan akan menjadi percuma!

Bahkan untuk mengontrol penyakit yang sudah menjadi makanan sehari - hari di Indonesia saja pemerintah kita masih ngos - ngosan, bagaimana dengan penyakit lain?

referensi:
• Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004
• PP nomor 40 tahun 1991
• UU nomor 4 tahun 1984

Minggu, 13 Februari 2011

Distribusi Dokter di Indonesia

Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai daerah yang sulit untuk dijangkau, dimana daerah-daerah tersebut sama sekali tidak menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. Dari sisi kemampuan ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar. Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga
daerah yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah distribusi tenaga dokter. Bahkan dalam program prioritas Kementrian Kesehatan RI tahun 2010, penempatan tenaga dokter, dan juga tenaga kesehatan lainnya, menjadi agenda utama. Pendekatan kebijakan tersebut adalahpendekatan geografis dan pendekatan motivasional. Daerah yang menjadi prioritas adalah daerah dengan kondisi geografis tertentu, seperti daerah kepulauan, terpencil,
perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Selanjutnya, untuk memotivasi dokter agar berminat untuk bekerja di daerah tersebut, pemerintah menyediakan insentif material dan insentif non material. Insentif material berupa tunjangan dalam jumlah tertentu, sedangkan insentif immaterial berupa jangka waktu kontrak yang pendek (3-6 bulan).
Kebijakan tersebut berhasil menempatkan dokter pada daerah DTPK. Terbukti 101 Puskesmas yang menjadi target penempatan telah terisi seluruhnya. Namun, pertanyaan
berikutnya adalah: bagaimanakah sustainability dari program tersebut? Apakah tenaga dokter tersebut berkenan bekerja di daerah tersebut dalam jangka waktu lama? Apakah dana yang disediakan akan terus menjamin proses deployment? Disamping itu juga ada pertanyaan mengenai bagaimana kinerja para dokter, apakah dapat dinilai atau hanya menghabiskan waktu.
Kualitas distribusi dapat berubah sesuai dengan perkembangan berbagai faktor. Salah satu faktor yang penting adalah gaji, jika gaji meningkat di satu tempat, maka akan terjadi peningkatan suplai tenaga di daaerah tersebut. Peningkatan suplai tenaga berarti membuka kemungkinan untuk mengurangi kesenjangan tenaga yang terjadi, kejadian ini disebut sebagai distribusi dinamis. Sedangkan distribusi statis berarti masalah ketidakseimbangan distribusi tetap terjadi, walaupun berbagai faktor yang “berhubungan” dengan pergerakan distribusi telah berubah, misalnya produksi (Zurn, et al. 2002).
Melalui pemahaman dinamika distribusi tersebut, maka perlu dipikirkan untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan konteks tertentu. Kebijakan yang tersedia saat ini bersifat generik untuk semua kualitas distribusi. Belum dipertimbangkan adanya daerah statis dan dinamis. Pada daerah dengan situasi distribusi dinamis, maka kebijakan penambahan insentif material menjadi sangat efektif. Tetapi pada daerah dengan distribusi statis, maka diperlukan kebijakan yang berbeda. Kebijakan untuk mengirimkan tenaga kesehatan sebagai kelompok (bukan individual), menyediakan fasilitas minimal, serta menetapkan standar ketenagaan untuk setiap tingkat institusi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menyempurnakan kebijakan yang ada.

Pentingnya Konteks Kebijakan
Distribusi tenaga kesehatan tidak hanya berbicara mengenai deployment saja, tetapi juga berbicara tentang masalah kesinambungan pasokan tenaga, lama tinggal, pengembangan profesi dan karir tenaga kesehatan beserta keluarganya.
Pengertian keseimbangan distribusi sumber daya manusia dari pandangan ekonomi, menurut Roy et al. (1996), adalah penyebaran ketrampilan sumber daya manusia sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, sehingga terjadi keseimbangan supply dengan demand.
Maldistribusi ketrampilan terjadi bila jumlah sumber daya manusia dengan ketrampilan tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan atau melebihi kebutuhan. Pasar tenaga kerja, dalam hal kebutuhan dan suplai, bersifat dinamis serta fluktuatif sesuai perjalanan waktu, sehingga keseimbangan juga ditentukan pada kurun waktu tertentu. Kekurangan atau kelebihan adalah hasil dari disequilibrium antara demand dan supply sumber daya manusia. Pengertian keseimbangan distribusi tenaga (sumber daya manusia) menurut batasan non ekonomi adalah kesesuaian jumlah tenaga dengan parameter normatif tertentu (Feldstein, 1999). Dalam kasus dokter spesialis, maka pengertian ini diartikan sebagai kesesuaian jumlah tenaga dokter spesialis di suatu daerah dengan standar yang telah ditetapkan. Standar yang berlaku dapat berupa rasio dokter dengan jumlah penduduk, jumlah dokter di rumah sakit, dan sebagainya (Zurn et al.2002).
DTPK merupakan daerah yang sangat rawan karena menjadi daerah yang tidak diminati oleh tenaga dokter. Kesempatan untuk bekerja sesuai dengan standar profesi sangat kurang mengingat fasilitas yang sangat terbatas di daerah-daerah tersebut. Bagi tenaga kesehatan non dokter, mungkin DTPK merupakan daerah yang menarik karena tidak ada hirarki pelayanan yang harus ditaati. Namun demikian kemampuan mereka untuk bekerja di daerah tersebut masih kurang jika harus menggantikan peran tenaga dokter dalam memberian pelayanan kepada masyarakat. Pada sisi lain, rasio jumlah tenaga kesehatan dengan penduduk masih jauh dari ideal, rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk juga masih sangat kurang. Situasi ini menyebabkan persoalan distrbusi tenaga dokter menjadi sangat rumit.
Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 156/Menkes/SK/2010, Permenkes Nomor 1231/MENKES/PER/2007 dan Permenkes Nomor 1235/MENKES/PER/2007 untuk mengatasi masalah distribusi di Indonesia. Namun kebijakan-kebijakan tersebut bersifat generik dan menggunakan pendekatan motivasional yang kurang tepat. Tidak ada identifikasi mengenai kualitas daerah yang dituju untuk penempatan tenaga dokter. Dokter yang baru lulus akan ditempatkan di daerah yang sangat minim fasilitas dan SDM pendukung lainnya. Akibatnya angka intention to leave menjadi sangat tinggi di kalangan dokter muda yang bekerja di pedalaman. Selanjutnya evaluasi mengenai penempatan tersebut dilakukan secara tertutup dan kurang mendidik. Pada sisi motivasional, diperlukan pemahaman terhadap keselarasan motivasi kerja, karakteristik organisasi dan psikografi dokter masing-masing.
Pemberian insentif nampaknya juga menjadi tidak diminati oleh karena fasilitas kerja yang minimal. Tenaga dokter tidak ingin kehilangan skills dan clinical sensenya jika terlalu lama berdiam di tempat pelayanan yang minim infrastruktur. Oleh sebab itu, dorongan untuk bekerja di DTPK harus diikuti dengan kebijakan untuk mengembangkan alat, prosedur, pembiayaan , obat-obatan , dan ketersediaan tim, yang menjadi sarana bekerja tenaga dokter. Diharapkan pula ada kebijakan untuk Continuing Medical Education secara jarak jauh.

Rekomendasi Kebijakan
1. Mengembangkan kebijakan penempatan tenaga dokter di DTPK yang sesuai dengan konteks di lapangan
a. Mengidentifikasi variasi kualitas distribusi di setiap daerah DTPK
b. Mengukur kualitas distribusi di daerah DTPK
2. Mengembangkan kebijakan standarisasi jenis, kualitas dan jumlah tenaga kesehatan di institusi pelayanan kesehatan yang berada di DTPK.
3. Mengembangkan kebijakan pengiriman tenaga kesehatan berbasis sistim profesional. Diharapkan tidak ada pengiriman dengan kontrak perorangan.
4. Mengembangkan kebijakan terkait dengan kecocokan antara organisasi pelayanan kesehatan, dengan kompetensi dokter dan dengan variasi kasus yang terjadi.
5. Mengembangkan kebijakan yang terkait dengan reward and punishment, mekanisme kontrak, dan pengembangan karir. Kebijakan ini berhubungan erat dengan isu untuk menjaga, terutama dari sisi retensi dan lama tinggal (length of stay).

Sabtu, 12 Februari 2011

Pembiayaan Kesehatan Melalui Asuransi Kesehatan Sosial

Pembiayaan kesehatan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan dirasakan berat baik oleh pemerintah, dunia usaha terlebih-lebih masyarakat pada umumnya. Untuk itu berbagai Negara memilih model sistem pembiayaan kesehatan bagi rakyatnya, yang diberlakukan secara nasional. Berbagai model yang dominan yang implementasinya disesuaikan dengan keadaan di Negara masing-masing.
Beberapa model yang dominan adalah:
1. Model asuransi kesehatan sosial (Social Health Insurance). Model ini dirintis sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah yang berkembang di beberapa Negara Eropa, Jepang (sejak 1922) dan kemudian ke Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan dll. Kelebihan sistem ini memungkinkan cakupan 100% penduduk dan relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
2. Model asuransi kesehatan komersial (Commercial/Private Health Insurance). Model ini berkembang di AS. Namun sistem ini gagal mencapai cakupan 100% penduduk. Sekitar 38% penduduk tidak tercakup dalam sistem. Selain itu terjadi peningkatan biaya yang amat besar karena terbukanya peluang moral hazard. Sejak tahun 1993; oleh Bank Dunia direkomendasikan pengembangan model Regulated Health Insurance dimana kepesertaan berdasarkan kelompok dengan syarat jumlah minimal tertentu sehingga mengurangi peluang moral hazard
3. Model NHS (National Health Services) yang dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia kedua. Model ini juga membuka peluang cakupan 100% penduduk. Namun pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah akan menjadi beban yang berat.
Asuransi Kesehatan
Resiko sakit perorangan KelomPok
The law of lsrge number
Ketidakpastian Pasti
Prinsip :
1. Membayar Premi/Iuran(Kecil) Benefit/ santunan yang besar
2. Melindungi Peserta dari resiko (ekonomi)
Diantara berbagai model itu, asuransi kesehatan sosial menjadi pilihan di banyak Negara. Penggunaan istilah asuransi dalam program ini adalah karena adanya aspek pengalihan resiko (ekonomi) karena sakit dan syarat hukum the law of the large number. Kecenderungan (universal) dari implementasi asuransi kesehatan sosial adalah:
1. Bahwa program asuransi kesehatan sosial dimulai dari kelompok formal, tenaga kerja, untuk kemudian berkembang pada kelompok non-formal dan self employed. Program bagi masyarakat miskin seringkali dikembangkan menjadi bagian dari kelompok non formal, atau dikembangkan secara tersendiri bergantung kepada kebijakan negara. Program asuransi kesehatan sosial di berbagai negara menunjukkan terjadinya peningkatan akses seluruh penduduk ke fasilitas kesehatan serta terjadinya pengendalian biaya.
2. Di berbagai negara, program ini dimulai dengan beberapa badan penyelenggara akan tetapi jumlah tersebut semakin menurun. Dimulai dengan kerjasama/koordinasi diantara berbagai badan penyelenggara, selanjutnya terjadi merger sehingga akhirnya menjadi satu badan penyelenggara yang menyelenggarakan program secara nasional (contoh; Taiwan, Korea Selatan). Dengan demikian bargaining power badan penyelengara semakin besar, sementara hukum the law of the large number juga semakin besar.
Perkembangan asuransi kesehatan sosial di berbagai Negara telah mengubah konsep asuransi kesehatan tradisional dimana selanjutnya asuransi kesehatan sosial tidak hanya dianggap sebagai sistem pembiayaan tetapi juga sistem pemeliharaan kesehatan. Karena itu, dalam konsep asuransi kesehatan sosial modern, program asuransi kesehatan mendasarkan kerjanya pada dua hal penting yakni; integrasi sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan sistem pelayanan (delivery of healthcare) yang efisien dan efektif.
Perbandingan Berbagai Model Asuransi Kesehatan
Aspek A suransi Kesehatan Sosial
(Social Health Insurance) Asuransi Kesehatan Komersial
(Commercial/ Private Health Insurance) Asuransi Kesehatan Komersial dengan regulasi
(Regulated Health Insurance)
1. Kepesertaan wajib /pokok Sukarela/ Perorangan/ kelompok Sukarela/ kelompok
2. Perhitungan premi group rating/ community rating Rating by class, sex, age dll Community rating
3.Santunan / Benefit Menyeluruh/ komprehensif Sesuai kontrak Sesuai kontrak
4. Premi/ iuran Persentasi gaji Angka absolute Angka absolut
5. Kegotong-royongan (solidaritas sosial) - Kaya - miskin
- Sehat - sakit
- Tua - muda
- High risk - low risk Sehat - sakit - Sehat - sakit
- High risk - low risk
- Tua - muda
6. Kenaikan biaya + +++ ++
7. Peran pemerintah +++ + ++
8. Pengelolaan Not for profit / nirlaba For profit / laba For profit /laba
cat: Konsep asuransi dalam pembiayaan kesehatan telah berkembang melalui berbagai pendekatan yakni sosial (social health insurance) dan komersial (commercial health insurance). Dantara keduanya berkembang regulated Health Insurance yang dalam laporan Bank Dunia ( 1993) disarankan untuk dilaksanakan sebagai pengganti prinsip Commercial/ Private Helath Insurance
Di Indonesia pengembangan asuransi kesehatan sosial (Jaminan Kesehatan/JK) diatur dalam UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) yang merupakan salah satu program bersama program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP). Program JK diselenggarakan secara nasional, berdasar prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Tujuannya adalah untuk memberikan manfaat pemeliharaan kesehatran dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
Prinsip asuransi sosial program JK dalam SJSN meliputi kepesertaan yang bersifat wajib dan non diskriminatif bagi kelompok formal, iuran berdasar persentase pendapatan menjadi beban bersama antara pemberi dan penerima kerja sampai batas tertentu, sehingga ada kegotong-royongan antara yang kaya-miskin, resiko sakit tinggi-rendah, tua-muda dengan manfaat pelayanan medik yang sama (prinsip ekuitas), dan pelayanan dapat diakses secara nasional (portabilitas), bersifat komprehensif, dengan manfaat pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai. Pengelolaannya dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, nirlaba, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Dana program merupakan dana amanat yang digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
Kekhususan program JK dalam SJSN adalah bahwa Badan Penyelenggara harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi jaminan kesehatan. Penyelenggaraan jaminan kesehatan menerapkan prinsip-prinsip managed healthcare concept, misalnya penerapan konsep dokter keluarga, konsep rujukan, konsep wilayah serta pembayaran prospektif (Prospective Payment System) misalnya kapitasi, tariff paket, dan DRG’s (Diagnosis Related Groups). Pelayanan obat diberikan sesuai dengan daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang ditetapkan.

Kamis, 10 Februari 2011

Kebijakan Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Indonesia masih dianggap negara yang kurang memberikan prioritas kesehatan untuk penduduknya. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya alokasi dana pemerintah untuk sektor kesehatan yang jumlahnya hanya sekitar 2% dari PDB, dan masih jauh dibawah rekomendasi
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO yang merekomendasikan 5% dari PDB.
Saat ini kebijakan pembiayaan kesehatan yang berlaku di Indonesia tidak konsisten dengan UU yang mengaturnya. Disatu pihak, peraturan yang mengatur kebijakan ini yaitu UU no 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa sistim pembiayaan kesehatan berbasis asuransi sosial, namun dalam implementasinya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh pembiayaan pemerintah dari sumber pajak.
Sistem asuransi sosial mewajibkan pesertanya membayarkan premi ke lembaga asuransi yang ditunjuk negara. Saat ini kurang dari 10% penduduk Indonesia (sekitar 17 juta orang) yaitu hanya pegawai negeri peserta PT Askes dan pegawai swasta peserta Jamsostek yang sudah masuk dalam sistem asuransi kesehatan sosial. Sistem pembiayaan kesehatan yang berlaku sekarang didominasi pajak yaitu negara membayar langsung kepada pemberi pelayanan kesehatan melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesmas/Jamkesda) yang mencakup lebih dari 75 juta penduduk. Program Jamkesmas adalah suatu program pengganti Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin) yang mulai dilaksanakan tahun 2008. Pemerintah mengatakan jika SJSN efektif nanti diterapkan sepenuhnya di Indonesia maka Program Jamkesmas akan disesuaikan dengan SJSN tersebut.
Sementara itu dualisme yang berlangsung yaitu antara UU yang berlaku dan implementasinya di lapangan, membingungkan pengambilan kebijakan teknis dan berdampak pada inefesiensi , kurang tepatnya sasaran dan ketidakadilan akses dalam pelayanan kesehatan. Padahal sekarang ini Indonesia memerlukan suatu kebijakan yang menyeluruh dan terpadu untuk
menjawab tantangan yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan yang semakin kompleks yang disebabkan antara oleh: perubahan pola kependudukan Indonesia, jenis penyakit yang dihadapi dan juga perubahan nutrisi yang disebabkan oleh perubahan pola hidup.

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No. 40/2004) belum dapat diberlakukan efektif
Undang-undang ini telah ditandatangani Presiden Megawati tahun 2004, namun sampai
saat ini belum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengimplementasikan UU tersebut. UU SJSN juga telah mengalami uji judicial (Judicial Review) oleh Mahkamah Konstitusi dan salah satu pasalnya dianulir (pasal 5 yaitu menyangkut penyebutan PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan ASABRI sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Selain itu, UU yang memuat Sistem Jaminan Kesehatan, Pensiun dan Jaminan Kematian seperti UU no 40/2004 mendapatkan kritik yang tajam.
Banyak negara maju yang memisahkan Jaminan Kesehatan dari Jaminan Sosial lain. Contoh terbaru adalah UU reformasi sistem asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang berhasil diberlakukan oleh Pemerintah Obama.
UU SJSN ini dianggap oleh banyak daerah sebagai sistem yang “sentralistik” dan “tidak sesuai dengan semangat desentralisasi” karena tidak memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah local untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat lokal. Dengan berbagai hambatan, kesulitan serta kompleksitas dari pemberlakuan UU SJSN ini, justru yang diperlukan Indonesia sekarang ini adalah suatu sistem jaminan kesehatan yang menyeluruh. Tidak mengherankan kalau sekarang ini UU no 40/2004 belum efektif menjawab tantangan pembiayaan kesehatan penduduk Indonesia.

Askeskin/Jamkesmas Kurang Efektif Menjamin Kesetaraan Layanan Kesehatan
Berbagai studi yang dikompilasi Bank Dunia menyimpulkan bahwa Jamkesmas ternyata hanya membantu masyarakat tidak mampu yang hidup di sekitar kota (urban poor), tetapi tidak masyarakat miskin di desa (rural poor) karena kesulitan mencapai pusat layanan kesehatan dan tidak meratanya fasilitas layanan kesehatan. Walaupun demikian, program ini cukup membantu mereka yang sakit sehingga terhindar dari pemiskinan akibat sakit. Apabila dibandingkan dengan tahun 2001, pada tahun 2006 terjadi penurunan beban biaya rumah tangga akibat sakit sebesar kurang lebih separuhnya.

UU SJSN dan Jamkesmas Merupakan Kebijakan yang Didasarkan pada Dua Prinsip yang Berbeda
UU SJSN adalah sistem pembiayaan berbasis Asuransi Sosial sedangkan Jamkesmas dan
juga sebagian Jamkesda adalah sistem berbasis pajak tanpa perhitungan asuransi. Suatu negara biasanya hanya mempunyai satu sistem yang utama, yaitu sistim pajak atau asuransi. Inggris misalnya memilih untuk menggunakan sistem pajak, sedangkan Jerman memilih sistem asuransi. Indonesia dengan “dualisme” sistem ini menyebabkan permasalahan dalam implementasinya, misalnya antara lain tidak tepatnya sasaran peserta Jamkesmas, rumitnya sistem klaim oleh rumah sakit, dan tingginya biaya administrasi.

Rekomendasi Kebijakan
Dianjurkan agar Indonesia segera memutuskan untuk memilih satu sistem pembiayaan utama dan konsisten dengan pelaksanaannya.
Apabila ingin memperluas kepesertaan Jamkesmas (melalui mekanisme pajak tanpa menggunakan prinsip asuransi sosial) maka perlu ada revisi UU SJSN. Bila perlu memisahkan UU tentang Jaminan Kesehatan berdiri sendiri, terpisah dari UU SJSN. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan pendapatan sektor pajak untuk menjaga agar tersedia anggaran kesehatan yang memadai guna menjamin keberlangsungan Jamkesmas.
Namun apabila ingin konsisten dengan UU SJSN (yaitu melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial) sebaiknya segera disusun Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) atau aturan perundangan teknis yang lain yang mendukung agar UU SJSN ini dapat diberlakukan.

Penutup
Sistem pembiayaan kesehatan berfungsi untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan agar masyarakat dapat terhindar dari pengeluaran biaya yang besar ketika mereka sakit. Apapun sistemnya,asal ada fungsi perlindungan finansil yang dapat diberlakukan maka sistem tersebut dapat dikatakan efektif. Selain itu, sistem pembiayaan juga harus menjamin adanya equity atau kesetaraan akses layanan kesehatan pada masyarakat. Sistem pembiayaan jangan hanya menguntungkan mereka yang mudah memperoleh akses layanan kesehatan, seperti misalnya mereka yang tinggal di kota besar atau dekat kota yang jumlah penyedia layanan kesehatannya memadai. Akhirnya, sistim pembiayaan kesehatan ini hanya akan efektif bila disediakan juga suatu sistem penyediaan pelayanan kesehatan yang merata.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia

Dalam sebuah sistem harus terdapat unsur-unsur input, proses, output, feedback, impact dan lingkungan. Sistem kesehatan yang telah di sahkan sesuai SK Menkes bahwa tujuan yang pasti adalah meningkatkan derajat yang optimal dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
Sistem Kesehatan Nasional perlu dilaksanakan dalam konteks Pembangunan Kesehatan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti: kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber daya, kesadaran masyarakat, dan kemampuan tenaga kesehatan mengatasi masalah tersebut.
Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1. Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3. Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4. Kepemimpinan. SKN juga disusun dengan memperhatikan inovasi/terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk penguatan sistem rujukan.
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, hingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Landasan Sistem Kesehatan Nasional meliputi:
1. Landasan Idiil, yaitu Pancasila.
2. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, 28 H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1),
3. Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan pembangunan kesehatan.
Mengacu pada substansi perkembangan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dewasa ini serta pendekatan manajemen kesehatan tersebut diatas, maka subsistem yang mempengaruhi pencapaian dan kinerja Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia meliputi:

1. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), dan pemulihan (rehabilitasi) masih dirasakan kurang. Memang jika kita pikirkan bahwa masalah Indonesia tidak hanya masalah kesehatan bahkan lebih dari sekedar yang kita bayangkan, tapi jika tahu bahwa dalam hal ini kita masih dalam proses dimana bagai sebuah ayunan yang mana pasti akan menemukan titik temu dan kita dapat menunggu, tapi kapankah hal ini...kita tunggu yang lebih baik. Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia.

2. Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan sudah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah sebesar 0,81% dari Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat pada tahun 2007 menjadi 1,09 % dari PDB, meskipun belum mencapai 5% dari PDB seperti dianjurkan WHO. Demikian pula dengan anggaran kesehatan, pada tahun 2004 jumlah APBN kesehatan adalah sebesar Rp 5,54 Triliun meningkat menjadi sebesar 18,75 Triliun pada tahun 2007, namun persentase terhadap seluruh APBN belum meningkat dan masih berkisar 2,6-2,8%. Pengeluaran pemerintah untukpengeluaran pemerintah untuk kesehatan masih kecil, yaitu 38% dari total pembiayaan kesehatan.
Proporsi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah belum mengutamakan upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan sekitar 46,5% dari keseluruhan penduduk pada tahun 2008 yang sebagian besar berasal dari bantuan sosial untuk program jaminan kesehatan masyarakat miskin sebesar 76,4 juta jiwa atau 34,2%.

3. Sumber Daya Manusia Kesehatan
Upaya pemenuhan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan belum memadai, baik jumlah, jenis, maupun kualitas tenaga kesehatan yang dibutuhkan. Selain itu, distribusi tenaga kesehatan masih belum merata. Jumlah dokter Indonesia masih termasuk rendah, yaitu 19 per 100.000 penduduk bila dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, seperti Filipina 58 per 100.000 penduduk dan Malaysia 70 per 100.000 pada tahun 2007.
Masalah strategis SDM Kesehatan yang dihadapi dewasa ini dan di masa depan adalah:
a) Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan SDM untuk pembangunan kesehatan;
b) Perencanaan kebijakan dan program SDM Kesehatan masih lemah dan belum didukung sistem informasi SDM Kesehatan yang memadai;
c) Masih kurang serasinya antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis SDM Kesehatan. Kualitas hasil pendidikan SDM Kesehatan dan pelatihan kesehatan pada umumnya masih belum memadai;
d) Dalam pendayagunaan SDM Kesehatan, kurang. Pengembangan karier, sistem penghargaan, dan sanksi belum sebagaimana mestinya. Regulasi untuk mendukung SDM Kesehatan masih terbatas; serta
e) Pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan serta dukungan sumber daya SDM Kesehatan masih kurang.

4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, sementara itu bahan baku impor mencapai 85% dari kebutuhan. Di Indonesia terdapat 9.600 jenis tanaman berpotensi mempunyai efek pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan telah dilakukan secara komprehensif. Sementara itu pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) digunakan sebagai dasar penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik. Daftar Obat Esensial Nasional tersebut telah disusun sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai tahun 2008.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik belum sepenuhnya diterapkan.

5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan pembangunan kesehatan antara Pusat dan Daerah belum sinkron. Begitu pula dengan perencanaan jangka panjang/menengah masih belum menjadi acuan dalam menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian juga dengan banyak kebijakan yang belum disusun berbasis bukti dan belum bersinergi baik perencanaan di tingkat Pusat dan atau di tingkat Daerah.
Sistem informasi kesehatan menjadi lemah setelah menerapkan kebijakan desentralisasi. Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian kesehatan belum banyak dimanfaatkan sebagai dasar perumusan kebijakan dan perencanaan program. Surveilans belum dilaksanakan secara menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan belum mendukung pembangunan kesehatan secara utuh. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun efektifitasnya. Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyeleng-garakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

6. Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat meningkat dari 27% pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007, namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai pada tahun 2009, yakni dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes semakin meningkat, tetapi pemanfaatan dan kualitasnya masih rendah. Hingga tahun 2008 sudah terbentuk 47.111 Desa Siaga dimana terdapat 47.111 buah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat lainnya yang terus berkembang pada tahun 2008 adalah Posyandu yang telah berjumlah 269.202 buah dan 967 Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu, Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek pembangunan kesehatan. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak ada Posyandu/Poskesdes (24%).

PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEGIS

Perkembangan global, regional, dan nasional yang dinamis akan mempengaruhi pembangunan suatu negara, termasuk pembangunan kesehatannya. Hal ini merupakan faktor eksternal utama yang mempengaruhi proses pembangunan kesehatan. Faktor lingkungan strategis dapat dibedakan atas tatanan global, regional, nasional, dan lokal, serta dapat dijadikan peluang atau kendala bagi sistem kesehatan di Indonesia.

1. Tingkat Global dan Regional
Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, dan lingkungan.
Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi, dan transportasi yang mempunyai konsekuensi pada fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan pembangunan kesehatan, yang sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan persiapan dan langkah-langkah yang menjadikan peluang dan mengurangi dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya suatu sistem kesehatan yang responsif.
Komitmen Internasional, seperti: MDGs, adaptasi perubahan iklim (climate change), ASEAN Charter, jejaring riset Asia Pasifik, serta komitmen Nasional, seperti revitalisasi pelayanan kesehatan dasar dan pengarus-utamaan gender, perlu menjadi perhatian dalam pembangunan kesehatan.

2. Tingkat Nasional dan Lokal
Pada tingkat nasional terjadi proses politik, seperti desentralisasi, demokratisasi, dan politik kesehatan yang berdampak pada pembangunan kesehatan, sebagai contoh: banyaknya peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menggunakan isu kesehatan sebagai janji politik. Proses desentralisasi yang semula diharapkan mampu memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dan bahkan memunculkan euforia di daerah yang mengakibatkan pembangunan kesehatan terkendala.
Secara geografis, sebagian besar wilayah Indonesia rawan bencana, di sisi lain situasi sosial politik yang berkembang sering menimbulkan konflik sosial yang pada akhirnya memunculkan berbagai masalah kesehatan, termasuk akibat pembangunan yang tidak berwawasan kesehatan yang memerlukan upaya pemecahan melalui berbagai terobosan dan pendekatan.
Perangkat regulasi dan hukum yang terkait dengan kesehatan masih belum memadai, sementara itu kesadaran hukum masyarakat masih rendah, dan masih lemahnya penegakan hukum menyebabkan berbagai hambatan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai terobosan/ pendekatan terutama pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan yang memberikan penguatan kapasitas dan surveilans berbasis masyarakat, diantaranya melalui pengembangan Desa Siaga.
Di bidang lingkungan, mekanisme mitigasi serta adaptasi dan pengenalan resiko akan perubahan iklim menuntut kegiatan kerjasama antara pihak lingkungan dengan pihak kesehatan dan seluruh sektor terkait.