Rabu, 16 Februari 2011

LEADERSHIP AND TEAMWORK IN HEALTH SERVICES

Tidak ada manusia yang super perkasa, seolah-olah bisa bekerja sendiri dalam pekerjaan yang kompleks. Permasalahan di pelayanan kesehatan padat kepentingan, rawan akan konflik !!!!!
Penataan cara bekerja di pelayanan kesehatan perlu professional character building dokter.
• Individu harus menyadari bahwa setiap fungsi dan kepentingannya mempunyai efek pada fungsi dan kepentingan individu lain dalam organisasi, demikian sebaliknya
• Setiap individu menghadapi berbagai macam tugas dan kewajiban, sehingga harus tahu prioritas penyelesaian pekerjaan
• Kepentingan organisasi harus didahulukan daripada kepentingan individual dalam tingkat manapun

Ciri karakter profesional DOKTER dalam menjalankan pelayanan
1. Mengutamakan pelayanan ke pasien dan peserta didik
2. Pembelajaran diri sendiri dan kepada kolega
3. Inovasi melalui riset dan telaah pengembangan institusi
4. Sikap kerja yang bernuansa disiplin dalam kehadiran serta kepatuhan akan etika, prosedur yang sudah disepakati dan prinsip kemitraan

Perhatian pada QUALITY of CARE lebih meroket setelah adanya publikasi dari IOM:
“To Eorr is Human” (th 1999)
“Crossing the Quality Chasm” (th 2001)
Dorongan ke pelayanan kesehatan prima untuk implementasi program Quality & Safety

TRANSFORMATIONAL CHANGING
 Perubahan secara kualitatif dalam suatu sistem organisasi untuk menuju PELAYANAN PRIMA
 Reframing nilai-nilai, keyakinan dan sikap yang ada pada organisasi
 Redefinisi dari lingkup aspek psikososial yang saling berkaitan
 Pengembangan individu, performa dan budaya organisasi  peningkatan daya saing
Untuk menciptakan perubahan budaya ini diperlukan “Transformational Leadership”, bukan “Managership”
WHY ?
Keberhasilan Transformasi :
• Peran Leadership 70 % - 90 %
• Peran Managership 10 % - 30 %
( Kotter, 1998 )

“ Act as a Leader, not a Manager, Stop Managing, Start Leading !”
( Robert Flater : “Jack Welch and GE Way” )

Leadership :
- Critical decision making
- Strategic decision
- Option widening
- Opportunistic surveillance
- Goal setting and changing
- Prospective
- Proactive
- Elevate employee
- Shape the organization’s culture
(Emergent; Personal; Moral; Consensual, catalystic; Empower people)

Managership
- Routine decision making
- Technical decision
- Uncertainty reduction
- Problematic search
- Goal achieving
- Retrospective
- Reactive
- Exchange with Employee
- Work within the organization’s culture
(Designated; Structural; Rules and regulations; Hierarchie; Control and influence people)

TRANSFORMATIONAL LEADERS
“Kepemimpinan tranformasi” bersifat karismatik, inspiratif, stimulatif dan berani mengambil resiko dengan penuh pertimbangan. Mereka memberikan kepada ‘anak buah’ rasa ikut berperan; melukiskan gambaran tentang keberhasilan; menyampaikan tujuan bersama, saling pengertian, dan masa depan yang menarik.
Seseorang dikatakan sebagai pemimpin tranformasi: (Walshe, 2000)
o Memiliki visi dan tujuan kedepan yang jelas
o Mempunyai kemampuan sbg dinamisator organisasi dan menunjukkan semangat yang tinggi dalam melaksanakan tugas organisasi secara benar dan bertanggungjawab
o Menciptakan iklim saling percaya, saling menghargai dan membantu kolega lain untuk senantiasa meningkatkan kapasitas pribadi
Misi : - Identitas jatidiri lembaga
- Raison d’etre (Reason for being)
- Milik Organisasi
Visi : - Cita-cita yang ingin diraih
- Gambaran Organisasi di masa datang
- Milik pimpinan yang menjadi pedoman bersama (konsep dan konsistensi)
Objektif : - Tujuan Strategik
- Tujuan Finansial
Langkah-langkah Pemimpin Senior dalam Organisasi Modern: (Gaspersz, 2007)
1. Melaksanakan Misi dan Nilai organisasi dalam pencapaian Visi dan Tujuan Strategik
2. Bersama Tim Manajemen merumuskan “Master Improvement Story ”, menyebar-luaskan informasi proporsional ke seluruh bagian organisasi dan berperan dalam implementasinya
3. Mempersiapkan kader-kader pemimpin organisasi masa depan dengan menumbuhkan budaya organisasi yg kondusif

DEVELOPING A CULTURE  WHAT SHOULD LEADER DO  THE BENEFIT OF TEAMWORK

Developing a culture of customer service:
• An organization’s culture is the shared philosophies, ideologies, values, beliefs, attitudes, and norms that knit the organization’s member together
• Culture guides the way employees of the organization act and think as they go about doing their jobs
(Encyclopaedia of Quality Management in Hospital & Health-care Administration. 1st Ed, 2006)

Healthcare leaders should:
• Have a strong commitment to excellent service and communicate it through words and deeds – clearly and consistently to those inside and outside the organization
• Creating and sustaining the organizational culture and convincing their employees to believe in that culture as well
• Motivate people develop their talents, provide them with proper resources, and reward them when they succeed

To walk the talk
• The most important influence on any organizational culture is the behavior of the leaders
• The top healthcare executives have been modelling behavior that does give a high priority to the major concerns of that customers : patient care, informations, pain management, positive attitudes of physicians and nurses, etc

Teamwork :
• Healthcare employee knows that they are essential parts of organizations that profoundly influence people’s live. They will work hard on behalf of that team’s goal because they are so committed to the purpose of the organization
• They should know that they can not work alone, with competence of others they will get synergism
(Fattler MD, Ford RC, & Heaton CP; 2006)
The benefit of work as a team:
1. Team can generate by discussing and resolving problems affecting the team and the organization
2. Team can assist in the supervising role of management by providing an ongoing monitoring of each team member’s behavior and productivity
3. Team help everybody learn more about the organization and what it does
4. Team makes decisions for itself, owns them, understands them, and becomes responsible for making them work and monitoring their outcomes

Kebutuhan akan Clinical / Medical Leadership
Kennedy & Messinger, 2005 (ECG, US):
o Institute of Medicine (IOM) pointed out that care based on training and individual experience – rather than on evidence - is a leading cause of error
o The key processes that drive high quality care will require consent and cooperative from doctors – the imperative for medical leadership
Cathy Balding, 2005 (VQC, Australia):
o It is needed a set of tasks to lead improvement in the safety & quality of healthcare and the attribute required to successfully carry them out
o Clinician cannot work in isolation, they require in the form of clinical teams. Clinical leader can maximize the effectiveness of those teams

3 undang-undang terkait upaya kesehatan dan standar kompetensi dokter di Indonesia mengisyaratkan perlunya kerjasama intra dan antar profesi (konsep teamwork di Indonesia) dalam pengaturan dan pembinaan serta peningkatan mutu pelayanan klinik
a. UU no. 44, th 2009 tentang Rumah Sakit (Penjelasan Bab Umum)
“Di dalam rumah sakit berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain . Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit”
b. UU no. 36, th 2009 tentang Kesehatan (Bab V, XIII, XVIII)
Bab V, Bagian kesatu: Tenaga Kesehatan
Bab XIII : Pengelolaan Kesehatan
Bab XVIII : Pembinaan dan Pengawasan
“Pemerintah mengatur pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dan penyelenggaraan pengelolaan kesehatan”
c. Undang-undang 29/ th 2004 (tentang Praktik Kedokteran)
Hak & Kewajiban Dokter – Psl 51 b. Merujuk pasien ke dokter lain yg mempunyai keahlian atau kemampuan yg lebih baik.
Hak & Kewajiban Pasien -- Psl 52 b. Meminta pendapat dokter lain

Area kompetensi dokter:
1. Komunikasi efektif
2. Keterampilan klinis
3. Landasan ilmiah ilmu kedokteran
4. Pengelolaan masalah kesehatan
5. Pengelolaan informasi
6. Mawas diri & pengembangan diri
7. Etika, moral, medikolegal dan profesionalisme serta keselamatan pasien

Bagaimana konsep interprofessional education ?
• Kerjasama antar profesi , yg penting pada pelayanan klinis yg berkualitas, lebih merupakan suatu “behaviour” yg harus dipupuk sejak saat pendidikan, terutama dalam pendidikan spesialis
• Rumah sakit pendidikan dalam mengemas pelayanan unggulan harus merupakan bentuk layanan terpadu multidisiplin dg pelaksana integrated service line management team dan evaluasi melalui comprehensive advisory council

Siapa yang memimpin pengembangan konsep ?
Chief Medical / Clinical Officer
• Has specific duties related to the management, direction, and evaluation of quality initiatives and clinical affairs, involved with strategic planning and relationships with critical physician groups, and model desired behaviour through their activities
• Be able to empowering and holding accountable staff at all levels (including registrars/residences) to be appropriately involved in monitoring and improving care and services
The key aspects of good clinical performance – ensuring that the right things are done in the right way at the right time for the right person, by the right people with right behaviour  The concept of systematic working & systemic thinking

Systematic working management
• Manajemen operasional organisasi usaha yang populer di negara Skandinavia
• Menjadi alternatif dari gaya manajemen yang berkiblat pada AS yang bernuansa persaingan pasar
• Pemahaman adanya saling ketergantungan antar komponen-komponen dalam suatu organisasi, untuk mengatasi problem yang kompleks yang mempunyai banyak penyebab dan banyak akibat maupun banyak efek samping
Dengan bekerja sistematik dan berpikir sistemik dalam kerangka pembentukan karakter profesional, maka semoga kita akan mampu berlomba dalam kebajikan di pelayanan kesehatan.

MEDICAL EMERGENCY RESPONSE – Rapid Response Team

BENCANA adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis serta memerlukan bantuan luar

Workshop on Disaster Research, WCDEM 2007 “ The problem of disaster response was not lack of any single resources but inadequate management (Coordination and Control) “
“ A humanitarian action must be conducted with a high standard of professionalism in a solidarity and friendship work. “

Damage area  Transportation transfer  Hospitalisation area
Disaster Plan
a. Pre Hospital Disaster Plan
M = major incident
E = exact location
T = type of injury
H = hazard,
A = Access
N = number of cas
E = emergency services, present and required

b. Hospital Disaster Plan
C ommand
S afety
C ommunication
A ssessment
T riage
T reatment
T ransport

c. Regional Disaster Plan
Coordinating Team
Medical team
Surveillance
Management back up
Logistik

Partisipasi masyarakat pd penanggulangan bencana :
• Tingkat pengendali; Tingkat pimpinan satuan kerja; Tingkat pelaksana
• Fase tanggap darurat; Fase Pemulihan; Fase Kesiagaan
• Military Government; Non Government Organization (NGO); Private Sector; Academia
• Profesional; Petugas; Relawan

The 5 Specific Aspects of Disaster Management that Involves Ethical Issues:
1. The use of military intervention in disaster relief
2. Assistance for displaced population
3. The relationship of disaster response to participatory development
4. Disaster finding
5. And disaster declaration and response

List the ethical values and important interest at stake
• Beneficence
• Non-maleficence
• Patient self determination
• Patient well being
• Self-improvement
• Fidelity
• Fairness

Selasa, 15 Februari 2011

UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA

Kesiapsiagaan :
KEADAAN SIAP SETIAP SAAT BAGI SETIAP ORANG, PETUGAS SERTA INSTITUSI PELAYANAN (TERMASUK PELAYANAN KESEHATAN) UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN DAN CARA-CARA MENGHADAPI BENCANA BAIK SEBELUM, SEDANG DAN SESUDAH BENCANA.

Penanggulangan :
MERUPAKAN UPAYA UNTUK MENANGGULANGI BENCANA, BAIK YANG DITIMBULKAN OLEH ALAM MAUPUN ULAH MANUSIA, TERMASUK DAMPAK KERUSUHAN YANG MELIPUTI KEGIATAN PENCEGAHAN, PENYELAMATAN, REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
• MENGURANGI JUMLAH KESAKITAN, RESIKO KECACATAN DAN KEMATIAN PADA SAAT TERJADI BENCANA.
• MENCEGAH/ MENGURANGI RESIKO MUNCULNYA PENYAKIT MENULAR DAN PENYEBARANNYA
• MENCEGAH/ MENGURANGI RESIKO DAN MENGATASI DAMPAK KESEHATAN LINGKUNGAN AKIBAT BENCANA.

SASARAN UTAMA :
 KORBAN BENCANA
 MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA
SASARAN ANTARA :
 SARANA & PRASARANA KESEHATAN
 PETUGAS KESEHATAN YANG MENGELOLA DAN PELAKSANA PENANGGULANGAN
 SUMBER PENYEBAB WABAH / KLB

PRINSIP DASAR UPAYA PENANGGULANGAN DITITIK BERATKAN PADA TAHAP KESIAPSIAGAAN SEBELUM BENCANA TERJADI


TAHAP SEBELUM TERJADI BENCANA (PRA BENCANA)
• KELEMBAGAAN / KOORDINASI YANG SOLID
• SUMBER DAYA MANUSIA / PETUGAS KESEHATAN YANG TRAMPIL, MEMILIKI PENGETAHUAN TENTANG BENCANA DAN MEMILIKI HUBUNGAN ANTAR MANUSIA YANG BAIK
• KETERSEDIAAN LOGISTIK (BAHAN, ALAT, OBAT)
• STANDAR OPERASIONAL / PEDOMAN
• KETERSEDIAAN INFORMASI TENTANG BENCANA (DAERAH RAWAN, POP.BERESIKO, POTENSI KEMAMPUAN RESPON, DLL)
• JARINGAN KERJA LINTAS PROGRAM / SEKTOR

TAHAP TERJADINYA BENCANA
• PELAYANAN GAWAT DARURAT MEDIK MASSAL
• ‘RAPID HEALTH ASSESSMENT’ YANG HASILNYA BERUPA REKOMENDASI UNTUK MENENTUKAN LANGKAH SELANJUTNYA
• BANTUAN AWAL KESEHATAN LINGKUNGAN & SURVEIILANS

TAHAP PASCA BENCANA
PADA TAHAP INI PERLU MEPERHATIKAN POTENSI RESIKO MUNCULNYA KLB PENYAKIT MENULAR. UPAYA KESEHATAN MELIPUTI :
1. KESEHATAN LINGKUNGAN (AIR BERSIH, JAMBAN, SAMPAH, SANITASI MAKANAN, DLL.)
2. SURVEILANS PENYAKIT
3. PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
4. PELAYANAN KESEHATAN DASAR, DLL.
INTERVENSI KESEHATAN DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
 Penyelamatan (fokus pada korban):
 Mobilisasi resources (dramatis; waktu singkat)
 Evakuasi ke RS, Pusk & Pos Kesehatan (mencegah kematian; perawatan luka)
 Mencegah KLB (fokus pada pengungsi):
 Penyediaan sanitasi darurat; pemberantasan vektor; imunisasi; pengendalian penyakit potensi KLB; SE.
 Memulihkan pelayanan (fokus pada fungsi Pusk):
 Pelayanan program kesehatan dasar (KIA, Gizi)
 Pelayanan program PP-PL (Imun, TB, Ispa dll)
 Memulihkan kondisi psikologis pasca bencana (traumatic stress)

Senin, 14 Februari 2011

Penanganan Bencana Merapi Pasca Penurunan Radius Bahaya Di Sleman

Media Center Tanggap Darurat Bencana Merapi, Sabtu (21/11) menyelenggarakan konferensi pers yang menghadirkan nara sumber Komandan Tanggap Darurat Bencana Merapi Kabupaten Sleman, Ir. Widi Sutikno, M.Si. Keseharian beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman.
Widi Sutikno menjelaskan bahwa radius berbahaya untuk Kabupaten Sleman, sebelah Barat Kali Boyong 10 km, sedangkan sebelah Timur Boyor 15 km. Kondisi ini berpengaruh terhadap pergerakan pengungsi yang berada di TPS (tempat penampungan sementara) yang tersebar di beberapa titik.

Terkait dengan perubahan radius zona bahaya, Bupati Sleman mengharapkan pengungsi yang berada di wilayah administrasinya dan berada di wilayah aman untuk kembali ke tempat tinggal mereka. ";;Harapan kami kepengen masyarakat di Sleman bisa dikelola sendiri, kami elus-elus sendiri (ungkapan bapak ke anaknya) supaya mereka aman” jelas Widi Sutikno. Pengungsi yang berada di sebagian wilayahTuri dan Pakem sudah bergerak ke barak pengungsi lama. Di Kecamatan Turi, ada dua desa, antara lain Desa Wonokerta dan Desa Girikerto yang sudah digunakan sebagai pusat barak pengungsi di Kecamatan Turi. Pemusatan pengungsi di daerah itu dilatarbelakangi keberadaan beberapa desa di kecamatan ini yang belum dapat dimasuki karena masih dalam radius bahaya.

Selama ini Pemerintah Kabupaten Sleman selalu berkoordinasi dengan Badan Geologi untuk perkembangan Gunung Merapi dan juga rekomendasi terkait pergerakan pengungsi. Memang yang paling parah di wilayah Cangkringan tempat terjangan awan panas dan lahar panas. Dan sebagian besar masyarakat di wilayah ini masih mengungsi.


Dampak letusan telah mematikan perekonomian kabupaten. Oleh karena itu, kami ingin sekali menghidupkan kembali perekonomian lokal di sini. Ada beberapa warung dan kios sudah mulai buka dalam beberapa hari ini. Kami sudah memikirkan untuk mengembangkan perekonomian kabupaten, sebagai contohnya lava tour seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2006. Lava tour dapat dilakukan dengan catatan status Merapi yang sudah aman nantinya. Di samping itu, kita juga menghimbau masyarakat yang memilki usaha mikro dan berada di wilayah zona aman untuk segera dibuka. Bantuan penguatan modal kepada masyarakat/ kelompok mungkin akan didesain bagi mereka. Kami baru kaji sistem dan pola untuk pemulihan ekonomi lokal.

Mengenai shelter, Kabupaten Sleman akan membangun shelter atau huntara minggu depan. Prioritas huntara diutamakan untuk keluarga yang rumahnya tidak dapat dihuni lagi. Sebelum pelaksanaan huntara, Pemerintah Kabupaten Sleman membuat site plan untuk hunian sementara. Pemerintah Kabupaten bekerja sama dengan UGM dalam pembuatan site plan yang nantinya akan dilanjutkan dengan land clearing. Sekali kali, Widi Sutikno menekankan terkait rencana huntara ini, “Shelter yang kita bangun itu adalah shelter yang kita spesialkan bagi masyarakat yang rumahnya tidak bisa dihuni lagi”.

WABAH!!! Seberapa Tanggapkah Pemerintah Kita?

Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Menteri menetapkan dan mencabut daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah.
Kejadian wabah berpontensi menimbulkan keadaaan KLB (Kejadian Luar Biasa) berupa peningkatan kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Indonesia, sebagai daerah tropis dengan kejadian penyakit infeksi yang tinggi dan berpotensi menjadi KLB, apa yang telah dilakukan pemerintah kita?
Sebenarnya, Berdasarkan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004 telah dibuat suatu sistem kewaspadaan dini KLB (SKD - KLB) dengan menerapkan surveilans epidemiologi untuk pencegahan dan penanggulangan cepat suatu wabah.
Surveilans epidemiologi berupa kajian secara terus menerus, berkelanjutan, dan sistematis terhadap penyakit berpotensi KLB didasarkan pada:
1. Laporan masyarakat mengenai wabah
2. data epidemiologi KLB
3. surveilans terpadu berbasis KLB
4. sistem peringatan dini di RS dan puskesmas
Dalam pelaksanaannya, selalu dilakukan pemantauan terhadap penyakit - penyakit yang berpotensi KLB sehingga jika terjadi peningkatan yang signifikan akan segera dilakukan peringatan kepada unit terkait dari DinKes kab/kota, DinKes propinsi, hingga DepKes. Selanjutnya akan diturunkan tim khusus untuk melakukan deteksi dini di tempat yang terkena wabah.

Namun, dengan adanya sistem yang telah dibentuk dengan sangat baik ini,..
Mengapa masih sering timbul KLB?
Mengapa penanganan KLB masih lambat?

Lihat saja kasus demam berdarah,
Indonesia merupakan negara dengan banyak daerahnya merupakan daerah endemis demam berdarah, dengan banyaknya kasus demam berdarah, dan tentu saja sangat berpotensi menjadi KLB. Sudah seharusnya penyakit yang tidak pernah absen ini selalu dalam pantauan dan terdata oleh surveilans epidemiologi. Namun, bisa dilihat angka kematian akibat demam berdarah masih tinggi! Bahkan pada tahun 2004, pemerintah sempat menetapkan KLB penyakit demam berdarah di SELURUH INDONESIA. Pada tahun itu, kejadian demam berdarah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 1 - 3% dari total kasus.
Apa sebenarnya yang dilakukan pemerintah kita selama ini?

Sesuai dengan Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004, sebenarnya telah dibentuk SKD - KLB yang harus selalu siap sedia dalam penanganan penyakit apapun yang berpotensi menjadi KLB. Namun, dalam pelaksanannya butuh ketekunan dalam administrasi dan pendataan semua penyakit yang terjadi dan ditangani di puskesmas hingga rumah sakit. Disini lah kemudian timbul permasalahan,..

"Sistem di negara kita belum mampu menyajikan data yang akurat dan update"

Mengapa saya bisa berkata demikian?
Jika tidak percaya, cobalah anda mencari data - data epidemiologi lengkap penyakit - penyakit di Indonesia. Bisa ditebak pasti anda akan kesulitan karena minimnya data - data yang ada, apalagi data terbaru. Data yang terkumpul hanya menjadi data mentah yang kemudian tidak diolah sehingga tidak bisa memberi informasi apapun. Otomatis surveilans epidemiologi pun akan sulit terlaksana dengan keadaan yang seperti ini. Belum lagi ditambah dengan minimnya kesadaran tenaga kesehatan dalam pencegahan dan deteksi dini suatu penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB. Mereka tidak merasa itu penting jika belum terjadi wabah. Sama seperti orang sakit yang baru menyadari bahwa kesehatan itu penting dan nikmat.
Jika kelakuan ini tidak dirubah, semua sistem yang telah dibuat tidak akan bisa berjalan dan akan menjadi percuma!

Bahkan untuk mengontrol penyakit yang sudah menjadi makanan sehari - hari di Indonesia saja pemerintah kita masih ngos - ngosan, bagaimana dengan penyakit lain?

referensi:
• Permenkes nomor 949/MenKes/SK/VIII/2004
• PP nomor 40 tahun 1991
• UU nomor 4 tahun 1984

Minggu, 13 Februari 2011

Distribusi Dokter di Indonesia

Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai daerah yang sulit untuk dijangkau, dimana daerah-daerah tersebut sama sekali tidak menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. Dari sisi kemampuan ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar. Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga
daerah yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah distribusi tenaga dokter. Bahkan dalam program prioritas Kementrian Kesehatan RI tahun 2010, penempatan tenaga dokter, dan juga tenaga kesehatan lainnya, menjadi agenda utama. Pendekatan kebijakan tersebut adalahpendekatan geografis dan pendekatan motivasional. Daerah yang menjadi prioritas adalah daerah dengan kondisi geografis tertentu, seperti daerah kepulauan, terpencil,
perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Selanjutnya, untuk memotivasi dokter agar berminat untuk bekerja di daerah tersebut, pemerintah menyediakan insentif material dan insentif non material. Insentif material berupa tunjangan dalam jumlah tertentu, sedangkan insentif immaterial berupa jangka waktu kontrak yang pendek (3-6 bulan).
Kebijakan tersebut berhasil menempatkan dokter pada daerah DTPK. Terbukti 101 Puskesmas yang menjadi target penempatan telah terisi seluruhnya. Namun, pertanyaan
berikutnya adalah: bagaimanakah sustainability dari program tersebut? Apakah tenaga dokter tersebut berkenan bekerja di daerah tersebut dalam jangka waktu lama? Apakah dana yang disediakan akan terus menjamin proses deployment? Disamping itu juga ada pertanyaan mengenai bagaimana kinerja para dokter, apakah dapat dinilai atau hanya menghabiskan waktu.
Kualitas distribusi dapat berubah sesuai dengan perkembangan berbagai faktor. Salah satu faktor yang penting adalah gaji, jika gaji meningkat di satu tempat, maka akan terjadi peningkatan suplai tenaga di daaerah tersebut. Peningkatan suplai tenaga berarti membuka kemungkinan untuk mengurangi kesenjangan tenaga yang terjadi, kejadian ini disebut sebagai distribusi dinamis. Sedangkan distribusi statis berarti masalah ketidakseimbangan distribusi tetap terjadi, walaupun berbagai faktor yang “berhubungan” dengan pergerakan distribusi telah berubah, misalnya produksi (Zurn, et al. 2002).
Melalui pemahaman dinamika distribusi tersebut, maka perlu dipikirkan untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan konteks tertentu. Kebijakan yang tersedia saat ini bersifat generik untuk semua kualitas distribusi. Belum dipertimbangkan adanya daerah statis dan dinamis. Pada daerah dengan situasi distribusi dinamis, maka kebijakan penambahan insentif material menjadi sangat efektif. Tetapi pada daerah dengan distribusi statis, maka diperlukan kebijakan yang berbeda. Kebijakan untuk mengirimkan tenaga kesehatan sebagai kelompok (bukan individual), menyediakan fasilitas minimal, serta menetapkan standar ketenagaan untuk setiap tingkat institusi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menyempurnakan kebijakan yang ada.

Pentingnya Konteks Kebijakan
Distribusi tenaga kesehatan tidak hanya berbicara mengenai deployment saja, tetapi juga berbicara tentang masalah kesinambungan pasokan tenaga, lama tinggal, pengembangan profesi dan karir tenaga kesehatan beserta keluarganya.
Pengertian keseimbangan distribusi sumber daya manusia dari pandangan ekonomi, menurut Roy et al. (1996), adalah penyebaran ketrampilan sumber daya manusia sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, sehingga terjadi keseimbangan supply dengan demand.
Maldistribusi ketrampilan terjadi bila jumlah sumber daya manusia dengan ketrampilan tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan atau melebihi kebutuhan. Pasar tenaga kerja, dalam hal kebutuhan dan suplai, bersifat dinamis serta fluktuatif sesuai perjalanan waktu, sehingga keseimbangan juga ditentukan pada kurun waktu tertentu. Kekurangan atau kelebihan adalah hasil dari disequilibrium antara demand dan supply sumber daya manusia. Pengertian keseimbangan distribusi tenaga (sumber daya manusia) menurut batasan non ekonomi adalah kesesuaian jumlah tenaga dengan parameter normatif tertentu (Feldstein, 1999). Dalam kasus dokter spesialis, maka pengertian ini diartikan sebagai kesesuaian jumlah tenaga dokter spesialis di suatu daerah dengan standar yang telah ditetapkan. Standar yang berlaku dapat berupa rasio dokter dengan jumlah penduduk, jumlah dokter di rumah sakit, dan sebagainya (Zurn et al.2002).
DTPK merupakan daerah yang sangat rawan karena menjadi daerah yang tidak diminati oleh tenaga dokter. Kesempatan untuk bekerja sesuai dengan standar profesi sangat kurang mengingat fasilitas yang sangat terbatas di daerah-daerah tersebut. Bagi tenaga kesehatan non dokter, mungkin DTPK merupakan daerah yang menarik karena tidak ada hirarki pelayanan yang harus ditaati. Namun demikian kemampuan mereka untuk bekerja di daerah tersebut masih kurang jika harus menggantikan peran tenaga dokter dalam memberian pelayanan kepada masyarakat. Pada sisi lain, rasio jumlah tenaga kesehatan dengan penduduk masih jauh dari ideal, rasio rumah sakit dengan jumlah penduduk juga masih sangat kurang. Situasi ini menyebabkan persoalan distrbusi tenaga dokter menjadi sangat rumit.
Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 156/Menkes/SK/2010, Permenkes Nomor 1231/MENKES/PER/2007 dan Permenkes Nomor 1235/MENKES/PER/2007 untuk mengatasi masalah distribusi di Indonesia. Namun kebijakan-kebijakan tersebut bersifat generik dan menggunakan pendekatan motivasional yang kurang tepat. Tidak ada identifikasi mengenai kualitas daerah yang dituju untuk penempatan tenaga dokter. Dokter yang baru lulus akan ditempatkan di daerah yang sangat minim fasilitas dan SDM pendukung lainnya. Akibatnya angka intention to leave menjadi sangat tinggi di kalangan dokter muda yang bekerja di pedalaman. Selanjutnya evaluasi mengenai penempatan tersebut dilakukan secara tertutup dan kurang mendidik. Pada sisi motivasional, diperlukan pemahaman terhadap keselarasan motivasi kerja, karakteristik organisasi dan psikografi dokter masing-masing.
Pemberian insentif nampaknya juga menjadi tidak diminati oleh karena fasilitas kerja yang minimal. Tenaga dokter tidak ingin kehilangan skills dan clinical sensenya jika terlalu lama berdiam di tempat pelayanan yang minim infrastruktur. Oleh sebab itu, dorongan untuk bekerja di DTPK harus diikuti dengan kebijakan untuk mengembangkan alat, prosedur, pembiayaan , obat-obatan , dan ketersediaan tim, yang menjadi sarana bekerja tenaga dokter. Diharapkan pula ada kebijakan untuk Continuing Medical Education secara jarak jauh.

Rekomendasi Kebijakan
1. Mengembangkan kebijakan penempatan tenaga dokter di DTPK yang sesuai dengan konteks di lapangan
a. Mengidentifikasi variasi kualitas distribusi di setiap daerah DTPK
b. Mengukur kualitas distribusi di daerah DTPK
2. Mengembangkan kebijakan standarisasi jenis, kualitas dan jumlah tenaga kesehatan di institusi pelayanan kesehatan yang berada di DTPK.
3. Mengembangkan kebijakan pengiriman tenaga kesehatan berbasis sistim profesional. Diharapkan tidak ada pengiriman dengan kontrak perorangan.
4. Mengembangkan kebijakan terkait dengan kecocokan antara organisasi pelayanan kesehatan, dengan kompetensi dokter dan dengan variasi kasus yang terjadi.
5. Mengembangkan kebijakan yang terkait dengan reward and punishment, mekanisme kontrak, dan pengembangan karir. Kebijakan ini berhubungan erat dengan isu untuk menjaga, terutama dari sisi retensi dan lama tinggal (length of stay).

Sabtu, 12 Februari 2011

Pembiayaan Kesehatan Melalui Asuransi Kesehatan Sosial

Pembiayaan kesehatan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan dirasakan berat baik oleh pemerintah, dunia usaha terlebih-lebih masyarakat pada umumnya. Untuk itu berbagai Negara memilih model sistem pembiayaan kesehatan bagi rakyatnya, yang diberlakukan secara nasional. Berbagai model yang dominan yang implementasinya disesuaikan dengan keadaan di Negara masing-masing.
Beberapa model yang dominan adalah:
1. Model asuransi kesehatan sosial (Social Health Insurance). Model ini dirintis sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah yang berkembang di beberapa Negara Eropa, Jepang (sejak 1922) dan kemudian ke Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan dll. Kelebihan sistem ini memungkinkan cakupan 100% penduduk dan relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
2. Model asuransi kesehatan komersial (Commercial/Private Health Insurance). Model ini berkembang di AS. Namun sistem ini gagal mencapai cakupan 100% penduduk. Sekitar 38% penduduk tidak tercakup dalam sistem. Selain itu terjadi peningkatan biaya yang amat besar karena terbukanya peluang moral hazard. Sejak tahun 1993; oleh Bank Dunia direkomendasikan pengembangan model Regulated Health Insurance dimana kepesertaan berdasarkan kelompok dengan syarat jumlah minimal tertentu sehingga mengurangi peluang moral hazard
3. Model NHS (National Health Services) yang dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia kedua. Model ini juga membuka peluang cakupan 100% penduduk. Namun pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran pemerintah akan menjadi beban yang berat.
Asuransi Kesehatan
Resiko sakit perorangan KelomPok
The law of lsrge number
Ketidakpastian Pasti
Prinsip :
1. Membayar Premi/Iuran(Kecil) Benefit/ santunan yang besar
2. Melindungi Peserta dari resiko (ekonomi)
Diantara berbagai model itu, asuransi kesehatan sosial menjadi pilihan di banyak Negara. Penggunaan istilah asuransi dalam program ini adalah karena adanya aspek pengalihan resiko (ekonomi) karena sakit dan syarat hukum the law of the large number. Kecenderungan (universal) dari implementasi asuransi kesehatan sosial adalah:
1. Bahwa program asuransi kesehatan sosial dimulai dari kelompok formal, tenaga kerja, untuk kemudian berkembang pada kelompok non-formal dan self employed. Program bagi masyarakat miskin seringkali dikembangkan menjadi bagian dari kelompok non formal, atau dikembangkan secara tersendiri bergantung kepada kebijakan negara. Program asuransi kesehatan sosial di berbagai negara menunjukkan terjadinya peningkatan akses seluruh penduduk ke fasilitas kesehatan serta terjadinya pengendalian biaya.
2. Di berbagai negara, program ini dimulai dengan beberapa badan penyelenggara akan tetapi jumlah tersebut semakin menurun. Dimulai dengan kerjasama/koordinasi diantara berbagai badan penyelenggara, selanjutnya terjadi merger sehingga akhirnya menjadi satu badan penyelenggara yang menyelenggarakan program secara nasional (contoh; Taiwan, Korea Selatan). Dengan demikian bargaining power badan penyelengara semakin besar, sementara hukum the law of the large number juga semakin besar.
Perkembangan asuransi kesehatan sosial di berbagai Negara telah mengubah konsep asuransi kesehatan tradisional dimana selanjutnya asuransi kesehatan sosial tidak hanya dianggap sebagai sistem pembiayaan tetapi juga sistem pemeliharaan kesehatan. Karena itu, dalam konsep asuransi kesehatan sosial modern, program asuransi kesehatan mendasarkan kerjanya pada dua hal penting yakni; integrasi sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan sistem pelayanan (delivery of healthcare) yang efisien dan efektif.
Perbandingan Berbagai Model Asuransi Kesehatan
Aspek A suransi Kesehatan Sosial
(Social Health Insurance) Asuransi Kesehatan Komersial
(Commercial/ Private Health Insurance) Asuransi Kesehatan Komersial dengan regulasi
(Regulated Health Insurance)
1. Kepesertaan wajib /pokok Sukarela/ Perorangan/ kelompok Sukarela/ kelompok
2. Perhitungan premi group rating/ community rating Rating by class, sex, age dll Community rating
3.Santunan / Benefit Menyeluruh/ komprehensif Sesuai kontrak Sesuai kontrak
4. Premi/ iuran Persentasi gaji Angka absolute Angka absolut
5. Kegotong-royongan (solidaritas sosial) - Kaya - miskin
- Sehat - sakit
- Tua - muda
- High risk - low risk Sehat - sakit - Sehat - sakit
- High risk - low risk
- Tua - muda
6. Kenaikan biaya + +++ ++
7. Peran pemerintah +++ + ++
8. Pengelolaan Not for profit / nirlaba For profit / laba For profit /laba
cat: Konsep asuransi dalam pembiayaan kesehatan telah berkembang melalui berbagai pendekatan yakni sosial (social health insurance) dan komersial (commercial health insurance). Dantara keduanya berkembang regulated Health Insurance yang dalam laporan Bank Dunia ( 1993) disarankan untuk dilaksanakan sebagai pengganti prinsip Commercial/ Private Helath Insurance
Di Indonesia pengembangan asuransi kesehatan sosial (Jaminan Kesehatan/JK) diatur dalam UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) yang merupakan salah satu program bersama program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP). Program JK diselenggarakan secara nasional, berdasar prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Tujuannya adalah untuk memberikan manfaat pemeliharaan kesehatran dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
Prinsip asuransi sosial program JK dalam SJSN meliputi kepesertaan yang bersifat wajib dan non diskriminatif bagi kelompok formal, iuran berdasar persentase pendapatan menjadi beban bersama antara pemberi dan penerima kerja sampai batas tertentu, sehingga ada kegotong-royongan antara yang kaya-miskin, resiko sakit tinggi-rendah, tua-muda dengan manfaat pelayanan medik yang sama (prinsip ekuitas), dan pelayanan dapat diakses secara nasional (portabilitas), bersifat komprehensif, dengan manfaat pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai. Pengelolaannya dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, nirlaba, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Dana program merupakan dana amanat yang digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
Kekhususan program JK dalam SJSN adalah bahwa Badan Penyelenggara harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi jaminan kesehatan. Penyelenggaraan jaminan kesehatan menerapkan prinsip-prinsip managed healthcare concept, misalnya penerapan konsep dokter keluarga, konsep rujukan, konsep wilayah serta pembayaran prospektif (Prospective Payment System) misalnya kapitasi, tariff paket, dan DRG’s (Diagnosis Related Groups). Pelayanan obat diberikan sesuai dengan daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang ditetapkan.